Sabtu, 26 Januari 2013

Untuk Perbedaan yang Tak Terelakkan

Lagi-lagi takdir mempermainkan kita. Kita bertemu. Lagi. Di sini. Dengan memori yang sama. Saling melempar senyum kembali. Tertawa. Dan lagi-lagi jaketmu tersampir di bahuku. Melindungiku. Menyekapku dengan aroma tubuhmu. Sama. Aroma itu masih seperti dulu. Seperti yang kuingat dalam setiap detak jantungku.
Rapat. Kudekap erat aromamu. Tak ingin kehilangan. Namun sadar tak akan tergenggam. Seperti mencoba menggenggam air. Seperti mencoba berilusi akan waktu yang mungkin menjadi abadi. Lalu tersadar akan kesia-siaan. Bahwa tak ada yang akan abadi selain ketidakabadian itu sendiri.
Perlahan ku resapi segalanya, bersama segelintir memori yang menari-nari keluar dari persembunyian. Dari sudut hati yang ku coba abaikan. Senang. Bahagia. Cinta. Tangis. Luka. Perpisahan. Menyerbu seluruh inderaku. Menyentakku. Menyadarkan bahwa di sini aku masih berharap. Berharap akan masa depan itu. Di sisimu. Mendampingimu. Menjagamu. Mencintaimu. Dan dicintai olehmu.
Sudah berapa lama perpisahan itu berlalu? Cukup lama. Cukup lama untuk mengobatinya. Bahkan mungkin memberinya rasa yang baru. Pada masa depan yang berbeda.
Namun pada kenyataannya, selama apapun waktu berlalu, akan terasa begitu singkat. Seolah baru kemarin itu terjadi. Karna setiap saat setelah perpisahan itu, aku masih tetap memikirkanmu.
Bertanya-tanya. Salahkah kita? Saling menyayangi tanpa menuntut. Saling mengasihi. Dua manusia yang pertemuannyapun atas campur tangan takdir. Namun takdir jua yang memaksa untuk berpisah. Takdir diriku, sebagai seorang Muslim. Dan dirimu, sebagai seorang Kristen.
Ya, betapa klisenya penyebab perpisahan kita. Agama. Tuhan.
Padahal kita sama-sama berdoa kepada Tuhan. Bedanya, aku memegang tasbih, dan kamu memegang salib. Aku menyebut-Nya Allah, dan kamu menyebut Yesus. Aku ber-Idul Fitri, dan kamu menjalani natal. Aku sholat setiap hari 5 waktu, kamu setiap minggu menjalani misa. Aku Islam, dan kamu Kristen.
Ya. Hanya itu. Perbedaan kita. Namun sungguh besar sesungguhnya jurang yang terentang di antara kita. Terlalu dalam. Gelap. Dan menakutkan.
Kadang aku mengutuki diriku sendiri. Untuk apa aku nekat menjalaninya bersamamu, bila pada akhirnya aku tau perpisahan tak terelakkan. Namun bila aku tak melakukan apa-apa saat itu, mungkin saat ini aku akan lebih sakit dari ini. Lebih pedih dari saat ini. Terjebak dalam rasa yang tak terungkap.
Kini, di setiap pertemuan kita, aku hanya bisa tersenyum, dalam kepedihan yang masih bersemayam. Lekat di dasar-dasar hati. Berdoa. Agar Tuhan memberiku kesempatan berada di sisimu, sebagai sahabatmu. Hingga pada akhirnya, aku akan bertemu dengan hati yang baru.

Banjarmasin, 26 Januari 2012
Dari Hati yang Merindu

Tidak ada komentar: