Kamis, 24 Januari 2013

Untuk Kamu, yang Mungkin tak Menyadarinya

Mungkin, ini hanya sekedar luapaan perasaan yang sudah menumpuk terlalu lama. Yang gak akan pernah tertuang selain di dalam sini. Yang bahkan gak akan pernah kamu ketahui (mungkin).
Ya, kamu. Aku tak perlu menyebutkan namamu di sini. Di dalam sini. Karena seperti yang aku tulis sebelumnya, kamu gak akan pernah tau, bahwa apa yang akan aku tulis adalah tentang dirimu. Tentang perasaanku untuk kamu. Tentang kisah yang terukir di antara kita. Tentang semuanya.
Sudah berapa lama kita saling mengenal? 3 tahun? 5 tahun? Ahh, lebih lama dari itu. Mungkin nyaris separuh umurku saat ini, ku habiskan dengan mengenalmu. Sudah terlalu lama. Terlalu lama, hingga sudah terlalu saling memahami. Terlalu lama, hingga sudah tak ada lagi batas dalam tiap canda, maupun cerita yang di bagi bersama. Terlalu lama, hingga keberadaan masing-masing sudah terlalu wajar. Seolah pundakmu untukku, maupun pundakku untukmu, memang hal yang normal.
Aku sudah terlalu terbiasa dengan semua itu. Dengan kamu. Keberadaanmu. Suaramu yang menenangkanku. Tanganmu yang menepuk pelan kepalaku. Dengan aromamu. Dengan tubuh besarmu yang melindungiku. Hingga tak kusadari, ada perasaan lain yang mengusikku. Menyusup perlahan, tanpa aba-aba.
Kamu tau, apa yang menyadarkanku akan rasa ini? Bukan. Bukan jarak yang kini membentang di antara kita penyebabnya. Karena bagiku, jarak bukanlah alasan atas terputusnya sebuah hubungan.
Namun pesan singkat yang kamu kirimkan malam itu, setelah sekian lama tak bertukar kabar, seketika menyentakkanku. Membobol air mataku. Mengiris, terlalu dalam. Tanpa aku tau mengapa.
Pesanmu, yang menyiratkan perpisahan yang lebih menyakitkan. Bahwa gak akan ada lagi kamu, yang senantiasa di sampingku dalam setiap luka, dan air mataku. Bahwa kamu ingin aku belajar, belajar melangkah sendiri.
Di sini, di tengah segala keasingan ini, kamu memintaku untuk mencoba berhenti bergantung padamu. Di sini, dalam pusaran segala hal-hal baru ini, kamu memintaku belajar memutuskan sendiri. Di sini, di saat aku benar-benar memerlukanmu, kamu melepasku untuk melangkah sendiri.
Bahkan ketika aku menuliskan ini, rasanya goresan ini hanya semakin sakit dan dalam. Seperti aku sedang menabur garam di atas lukaku sendiri.
Aku bertanya-tanya, apakah mungkin aku mencintaimu? Tidak, rasa kehilangan ini terlalu menyakitkan untuk ku sebut cinta. Mungkin kamu hanya terlalu berharga, dan penting bagiku. Hingga ketika saatnya tiba, yang dengan jelas aku pun menyadari saat ini akan tiba, aku masih tertegun dalam kebingungan. Dalam penolakan akan saat-saat itu.
Yang kusadari, aku tak pernah cemburu pada setiap pasangan yang kamu pilih. Aku tak pernah ingin mendoakan akan berakhirnya hubunganmu dengan siapapun. Jadi, ini bukan cinta kan?
Namun mengapa rasanya sakit saat kamu memintaku untuk melangkah sendiri?
Mengapa seketika pijakanku goyah saat aku membaca pesanmu?
Apa yang membuat air mataku tiba-tiba menetes, deras, tak terbendung, saat itu?
Bisakah kamu memberi nama atas rasa ini?
Karna aku tak sanggup.

Jatinangor, 23 Januari 2012
Dari adikmu, sahabatmu, keluargamu, yang tak ingin kamu membaca ini

Tidak ada komentar: