Malam itu hujan turun dengan deras.
Suara guntur menggelegar di luar sana, sementara itu aku tengah duduk di dalam
sebuah kamar. Duduk berhadapan dengan seorang pria yang umurnya nyaris sama
sepertiku, hanya saja rambutnya yang telah banyak memutih membuatnya nampak
lebih tua. Kutatap matanya yang terlihat sedang menerawang, dengan sabar
menunggunya mulai bercerita.
“Namanya Ahmad…” gumam pria itu
memulai.
“Namanya Ahmad, dan dia adalah
seorang pria yang tampan. Dia tidak berasal dari keluarga yang kaya. Namun hal
itu tidak membuatnya merasa minder. Sebaliknya hal itu membuatnya menjadi
seseorang yang pekerja keras dan pantang menyerah.”
Setelah itu dia berhenti berbicara,
seperti tengah mengingat-ingat apa yang akan diceritakannya kepadaku. Matanya
masih terfokus pada sesuatu yang jauh.
“Dia seorang anak yang berprestasi.
Selalu mendapatkan peringkat tertinggi di kelasnya. Semenjak SMP dia mendapat
beasiswa di sekolah terfavorit di kota kelahirannya. Ahmad, seorang murid
kebanggaan para guru. Selulusnya dari SMU dia melanjutkan kuliah di universitas
ternama, lagi-lagi berkat beasiswa.” lanjutnya.
Lagi-lagi dia terdiam, membiarkanku
menunggu beberapa detik untuk mendengarkan kelanjutan ceritanya. Dengan tidak
sabar aku menunggunya membuka mulut kembali. Kuhentakkan kakiku sambil melirik
kearah jam tangan yang melingkar di lenganku.
“Bukan hanya pintar, dia juga sangat
pandai bergaul. Teman-temannya menyukai sifatnya yang ramah dan hangat. Semua
orang ingin berada di dekatnya. Pendek kata dia adalah seorang anak yang nyaris
sempurna. Setelah lulus kuliah dia pindah ke ibukota. Mencoba mengadu nasib di
kota yang menurut sebagian orang keras pada pendatang. Meski ibunya memintanya
untuk tinggal, dia tetap bertahan pada keinginannya untuk bekerja di Jakarta.”
“Karir Ahmad naik dengan cepat.
Bahkan akhirnya dia menikah dengan putri direktur utama di perusahaan tempatnya
bekerja. Kehidupan pernikahannya bahagia, mereka di karuniai dua orang anak.
Pendek kata dia menjadi orang yang paling bahagia di dunia. Hidupnya lengkap
dan sempurna.”
Untuk yang kesekian kalinya dia
berhenti bercerita. Kuperhatikan wajahnya yang semakin lama terlihat semakin
murung, matanya mulai berkaca-kaca. Sungguh aneh, mengingat dia sedang
bercerita tentang kehidupan seseorang yang bahagia.
“Hidupnya begitu sempurna baginya.
Walau sebenarnya hidupnya tidak pernah benar-benar sempurna. Karena tanpa di
sadari dia telah berubah.”
*****
Dering telepon terdengar nyaring.
Ahmad yang saat itu tengah sibuk dengan berkas-berkas kantornya menoleh dengan
kesal.
“Bi! Angkat teleponnya!” perintahnya
keras.
Terpogoh-pogoh pembantu rumah
tangganya berlari mengangkat telepon yang berdering, “Halo selamat siang,
dengan keluarga Ahmad ada yang bisa di bantu?”
“Assalammualaikum mba, mas Ahmad nya
ada?” suara perempuan di seberang sana terdengar.
“Oh ada mba, tunggu sebentar ya.”
“Tuan, telepon buat Tuan.” seru Bik
Ijah memanggil Ahmad.
Setengah menggerutu Ahmad bangkit
dari tempatnya,”Semoga itu telepon yang benar-benar penting.” gerutunya.
“Halo.”
“Halo mas Ahmad? Ini Ninuk mas.”
Ahmad tertegun mendengar nama
itu,”Ada apa kamu nelpon mas? Bukannya bulan ini mas sudah kirim uang ke
rumah.”
“Bukan mas, bukan masalah uang. Tapi
Ibu ingin mas pulang secepatnya mas.”
“Bilang sama Ibu mas ngga bisa. Kamu
kan tau mas sibuk di sini.” seru Ahmad.
Ninuk terdiam di sebrang sana,
adiknya itu menghela napas panjang mendengar jawaban kakaknya yang seperti
biasa selalu menolak bila di minta untuk pulang.
“Mas, mas kan udah lama ngga pulang.
Apa mas ngga kasian sama Ibu? Udah lama Ibu ngga ketemu sama mas.”
“Kamu ini gimana sih. Sudah mas
bilang mas sibuk, kenapa ngga ngerti-ngerti juga! Kalian sendiri yang menolak
waktu mas ajak tinggal di Jakarta. Tapi sekarang malah memaksa mas buat pulang.
Kamu harusnya ngerti, mas sibuk seperti ini buat kalian juga. Supaya bisa
menafkahi kalian.” bentak Ahmad kesal.
“Tapi mas…”
“Ngga ada tapi-tapian. Bilang sama
Ibu kalau mas sibuk di sini, jadi mas ngga bisa pulang sekarang. Nanti-nanti
kan masih bisa.”
“Tapi Ibu…”
“Udah lah mas ngga mau berdebat. Mas
lagi banyak kerjaan sekarang, jadi lain kali aja kita bahas.” potong Ahmad.
“Assalammualaikum.”
Bahkan sebelum Ninuk sempat menjawab
salamnya, Ahmad telah meletakkan gagang telepon kembali pada tempatnya.
*****
“Itu adalah kesalahan pertama yang
dilakukannya.” lelaki itu menjelaskan padaku. “Terlena
oleh kehidupan yang dimilikinya saat itu, dia melupakan keluarganya yang selama
ini mendukungnya. Bertahun-tahun dia hanya memberi kabar kepada keluarganya
melalui telepon tanpa pernah pulang ke kampung halamannya. Berkunjung ke rumah
orang tuanya sendiri yang selama ini telah merawatnya.”
Kuakui aku mulai terhanyut ke dalam
ceritanya. Membayangkan bagaimana perasaan rindu seorang Ibu yang bertahun-tahun
tidak melihat anaknya.
*****
“Pi, tadi ada telepon dari keluarga
Papi.” isterinya memulai percakapan itu di meja makan.
Ahmad
yang tengah sibuk menyantap makan malamnya terdiam mendengar perkataan
istrinya. Diletakkannya sendok dan garpu yang ada ditangannya.
“Mi,
bisa kan kita bicarain itu nanti.”
“Nanti kapan lagi Pi? Setiap Mami mulai
membicarakan masalah keluarga Papi di kampung, Papi selalu berusaha
menghindar.”
“Mi, Papi nggak menghindar. Tapi menurut
Papi, belum waktunya Papi datang ke sana. Saat ini bisnis Papi sedang lancAr-lancarnya.
Jadi lebih baik Papi mengurus bisnis dulu daripada membuang-buang waktu untuk
mereka. Toh lagipula mereka sudah Papi kirimi uang setiap bulan.” seru Ahmad.
“Pi! Papi keterlaluan ya! Buat
ngeluangin waktu demi keluarga Papi sendiri aja susah banget. Apa Papi lupa
kalau mereka yang selama ini ngerawat Papi? Apa Papi ngga menghargai
pengorbanan keluarga Papi selama ini? Kalau ngga ada mereka, apa Papi sekarang
aka nada di hadapan Mami? Coba Papi pikirin baik-baik semua kelakuan Papi
selama ini, dan bayangin gimana kalau anak-anak kita yang memperlakukan Papi
seperti itu!”
“Selama pernikahan kita, ngga pernah
sekalipun Papi mempertemukan Mami dengan keluarga Papi. Bahkan di hari
pernikahan kita Papi melarang mereka untuk datang. Mami nggak habis pikir,
setan apa yang sudah ngerasukin pikiran Papi.” lanjut istrinya.
Ahmad terdiam mendengar perkataan
isterinya. Untuk pertama kalinya isterinya berteriak kepadanya. Baginya itu
adalah pukulan yang sangat telak. Tapi egonya menahannya untuk mengakui
kesalahannya, dia tetap bertahan dalam diam sampai istrinya meninggalkan meja
makan.
*****
“Akhirnya Ahmad memutuskan untuk pulang
ke rumahnya. Sepanjang perjalanan pikirannya terus tertuju pada urusan
kantornya. Hatinya sama sekali tidak tergerak untuk memikirkan keluarganya.
Meski istrinya telah menceritakan berkali-kali mengenai kondisi ibunya yang
disampaikan oleh adiknya, Ahmad tetap tidak bergeming dan memilih untuk tidak
mempercayainya.”
Laki-laki itu mulai terisak. Perlahan
tetes-tetes air mata turun di pipinya yang kini mulai terlihat tirus. Suaranya
bergetar saat dia tengah berusaha melanjutkan ceritanya kepadaku. Hatiku bagai
teriris belati saat melihat keadaannya itu. Ingin rasanya kupeluk tubuhnya dan
menenangkannya, tapi aku tau hal itu tidak mungkin kulakukan.
*****
Mobil sedan yang ditumpangi Ahmad dan
keluarganya sampai di depan sebuah rumah yang masih sangat familier di mata
Ahmad. Rumah itu masih sama seperti dulu, tidak ada yang berubah sama sekali.
Masih terlihat ayunan dari ban bekas yang dulu dibuatkan ayahnya untuknya.
Bahkan rumah pohon sederhana di atasnyapun masih ada.
Perlahan Ahmad menutup matanya.
Ingatannya kembali ke masa lalu. Saat terakhir kali dia kembali ke rumah itu
bertahun-tahun yang lalu. Tanpa disadarinya hatinya yang selama ini dibuatnya
membeku mulai mencair. Meski Ahmad berusaha mengingkarinya, sesungguhnya
hatinya selalu merindukan keluarga dan rumah masa kecilnya. Hanya saja egonya
terlalu besar untuk mengakuinya.
“Turun yuk pi.” bujuk istrinya pelan.
Dia hanya mengangguk pelan sambil
melangkah turun dari mobilnya. Perlahan matanya mulai berkaca-kaca. Tapi
dilihatnya suasana rumahnya terasab berbeda, banyak tetangganya yang datang
dengan memakai baju berwarna hitam. Tiba-tiba tatapannya tertuju pada bendera
kuning yang terpasang di pagar rumahnya. Luput dari perhatiannya karena dia
terlalu sibuk dengan kenangan masa lalunya.
“Pi, siapa yang meninggal Pi?” Tanya
istrinya khawatir di sisinya.
Digelengkannya kepalanya dengan gugup.
Jantungnya mulai berdegup dengan kencang, seolah meyakinkan pikiran buruk yang
melintas di kepalanya. Ragu dilangkahkannya kakinya memasuki pekarangan
rumahnya. Orang-orang yang melihatnya datang sebagian langsung menoleh, ada
yang melemparkan senyum menghibur, namun banyak yang menatapnya dengan benci.
Istrinya membimbing langkahnya yang
mulai gemetar seiring jalan yang ditapakinya menuju rumahnya. Di ruang
keluarga, dilihatnya adiknya tengah membaca surah Yasin. Lalu di hadapannya
adiknya terbujur tubuh seorang wanita yang menjadi alas an istrinya memaksanya
untuk kembali pulang. Detik itu juga, dunia sempurna yang dibangunnya hancur
berkeping-keping.
*****
Air mataku menetes turun seiring dengan
kisah yang dituturkan laki-laki di hadapanku. Kurasakan emosi yang sama
mengalir dari kata-kata yang meluncur keluar dari mulutnya.
“Ibunya meninggal, sebelum dia sempat
meminta maaf atas semua kesalahannya. Sebelum dia sempat mengenalkan
keluarganya kepada ibunya. Sebelum dia sempat mengatakan betapa dia merindukan
beliau. Dunianya runtuh saat itu juga.”
Aku hanya mampu menangis mendengarnya.
Ku tatap wajah lelaki itu, perlahan senyum ganjil tersungging di bibirnya.
“Hahah… Itu adalah balasan yang setimpal
untuknya. Untuk semua kesalahan yang dia perbuat selama ini. Bahkan adiknya
tidak mengizinkannya untuk ikut mengubur ibunya. Hahah… Anak durhaka seperti
dia memang tidak pantas berada di sana. Hahah… Harusnya dia yang mati, bukan
ibunya.” lanjutnya sambil terkekeh-kekeh.
Lelaki itu mulai memukul-mukul kepalanya
dengan kedua tangannya. Tangisnya semakin keras terdengar. Begitu menyayat
hati, seolah menggambarkan duka yang tengah dirasakannya. Terselip tawa di
sela-sela tangisnya. Tawa yang aneh, karena tidak diiringi kebahagiaan
sebagaimana mestinya.
Ketakutan mulai menguasaiku. Terlebih
setelah dia mulai berteriak-teriak dengan keras. Gemetar aku mulai bangkit
berdiri, menuju pintu di sisiku. Perlahan aku keluar dari ruangan itu, menahan
segenap kesedihanku yang selama ini selalu kutahan.
“Cepet sembuh Pi. Udah 2 tahun Papi
ninggalin Mami sendiri kayak gini.” bisikku lemah.
Kututup pintu kamarnya. Menyusuri lorong
rumah sakit jiwa tempat suamiku tengah di rawat. Berat rasanya melihat
keadaannya saat ini. Tapi tidak ada yang bisa kulakukan selain berdoa untuk
kesembuhannya.
~Fin~