Senin, 06 Februari 2012

Maaf yang tak sampai


            Malam itu hujan turun dengan deras. Suara guntur menggelegar di luar sana, sementara itu aku tengah duduk di dalam sebuah kamar. Duduk berhadapan dengan seorang pria yang umurnya nyaris sama sepertiku, hanya saja rambutnya yang telah banyak memutih membuatnya nampak lebih tua. Kutatap matanya yang terlihat sedang menerawang, dengan sabar menunggunya mulai bercerita.
            “Namanya Ahmad…” gumam pria itu memulai.
            “Namanya Ahmad, dan dia adalah seorang pria yang tampan. Dia tidak berasal dari keluarga yang kaya. Namun hal itu tidak membuatnya merasa minder. Sebaliknya hal itu membuatnya menjadi seseorang yang pekerja keras dan pantang menyerah.”
            Setelah itu dia berhenti berbicara, seperti tengah mengingat-ingat apa yang akan diceritakannya kepadaku. Matanya masih terfokus pada sesuatu yang jauh.
            “Dia seorang anak yang berprestasi. Selalu mendapatkan peringkat tertinggi di kelasnya. Semenjak SMP dia mendapat beasiswa di sekolah terfavorit di kota kelahirannya. Ahmad, seorang murid kebanggaan para guru. Selulusnya dari SMU dia melanjutkan kuliah di universitas ternama, lagi-lagi berkat beasiswa.” lanjutnya.
            Lagi-lagi dia terdiam, membiarkanku menunggu beberapa detik untuk mendengarkan kelanjutan ceritanya. Dengan tidak sabar aku menunggunya membuka mulut kembali. Kuhentakkan kakiku sambil melirik kearah jam tangan yang melingkar di lenganku.
            “Bukan hanya pintar, dia juga sangat pandai bergaul. Teman-temannya menyukai sifatnya yang ramah dan hangat. Semua orang ingin berada di dekatnya. Pendek kata dia adalah seorang anak yang nyaris sempurna. Setelah lulus kuliah dia pindah ke ibukota. Mencoba mengadu nasib di kota yang menurut sebagian orang keras pada pendatang. Meski ibunya memintanya untuk tinggal, dia tetap bertahan pada keinginannya untuk bekerja di Jakarta.”
            “Karir Ahmad naik dengan cepat. Bahkan akhirnya dia menikah dengan putri direktur utama di perusahaan tempatnya bekerja. Kehidupan pernikahannya bahagia, mereka di karuniai dua orang anak. Pendek kata dia menjadi orang yang paling bahagia di dunia. Hidupnya lengkap dan sempurna.”
            Untuk yang kesekian kalinya dia berhenti bercerita. Kuperhatikan wajahnya yang semakin lama terlihat semakin murung, matanya mulai berkaca-kaca. Sungguh aneh, mengingat dia sedang bercerita tentang kehidupan seseorang yang bahagia.
            “Hidupnya begitu sempurna baginya. Walau sebenarnya hidupnya tidak pernah benar-benar sempurna. Karena tanpa di sadari dia telah berubah.”

*****

            Dering telepon terdengar nyaring. Ahmad yang saat itu tengah sibuk dengan berkas-berkas kantornya menoleh dengan kesal.
            “Bi! Angkat teleponnya!” perintahnya keras.
            Terpogoh-pogoh pembantu rumah tangganya berlari mengangkat telepon yang berdering, “Halo selamat siang, dengan keluarga Ahmad ada yang bisa di bantu?”
            “Assalammualaikum mba, mas Ahmad nya ada?” suara perempuan di seberang sana terdengar.
            “Oh ada mba, tunggu sebentar ya.”
            “Tuan, telepon buat Tuan.” seru Bik Ijah memanggil Ahmad.
            Setengah menggerutu Ahmad bangkit dari tempatnya,”Semoga itu telepon yang benar-benar penting.” gerutunya.
            “Halo.”
            “Halo mas Ahmad? Ini Ninuk mas.”
            Ahmad tertegun mendengar nama itu,”Ada apa kamu nelpon mas? Bukannya bulan ini mas sudah kirim uang ke rumah.”
            “Bukan mas, bukan masalah uang. Tapi Ibu ingin mas pulang secepatnya mas.”
            “Bilang sama Ibu mas ngga bisa. Kamu kan tau mas sibuk di sini.” seru Ahmad.
            Ninuk terdiam di sebrang sana, adiknya itu menghela napas panjang mendengar jawaban kakaknya yang seperti biasa selalu menolak bila di minta untuk pulang.
            “Mas, mas kan udah lama ngga pulang. Apa mas ngga kasian sama Ibu? Udah lama Ibu ngga ketemu sama mas.”
            “Kamu ini gimana sih. Sudah mas bilang mas sibuk, kenapa ngga ngerti-ngerti juga! Kalian sendiri yang menolak waktu mas ajak tinggal di Jakarta. Tapi sekarang malah memaksa mas buat pulang. Kamu harusnya ngerti, mas sibuk seperti ini buat kalian juga. Supaya bisa menafkahi kalian.” bentak Ahmad kesal.
            “Tapi mas…”
            “Ngga ada tapi-tapian. Bilang sama Ibu kalau mas sibuk di sini, jadi mas ngga bisa pulang sekarang. Nanti-nanti kan masih bisa.”
            “Tapi Ibu…”
            “Udah lah mas ngga mau berdebat. Mas lagi banyak kerjaan sekarang, jadi lain kali aja kita bahas.” potong Ahmad.
            “Assalammualaikum.”
            Bahkan sebelum Ninuk sempat menjawab salamnya, Ahmad telah meletakkan gagang telepon kembali pada tempatnya.

*****

            “Itu adalah kesalahan pertama yang dilakukannya.” lelaki itu menjelaskan padaku.          “Terlena oleh kehidupan yang dimilikinya saat itu, dia melupakan keluarganya yang selama ini mendukungnya. Bertahun-tahun dia hanya memberi kabar kepada keluarganya melalui telepon tanpa pernah pulang ke kampung halamannya. Berkunjung ke rumah orang tuanya sendiri yang selama ini telah merawatnya.”
            Kuakui aku mulai terhanyut ke dalam ceritanya. Membayangkan bagaimana perasaan rindu seorang Ibu yang bertahun-tahun tidak melihat anaknya.

*****

            “Pi, tadi ada telepon dari keluarga Papi.” isterinya memulai percakapan itu di meja makan.
            Ahmad yang tengah sibuk menyantap makan malamnya terdiam mendengar perkataan istrinya. Diletakkannya sendok dan garpu yang ada ditangannya.
            “Mi, bisa kan kita bicarain itu nanti.”
“Nanti kapan lagi Pi? Setiap Mami mulai membicarakan masalah keluarga Papi di kampung, Papi selalu berusaha menghindar.”
“Mi, Papi nggak menghindar. Tapi menurut Papi, belum waktunya Papi datang ke sana. Saat ini bisnis Papi sedang lancAr-lancarnya. Jadi lebih baik Papi mengurus bisnis dulu daripada membuang-buang waktu untuk mereka. Toh lagipula mereka sudah Papi kirimi uang setiap bulan.” seru Ahmad.
“Pi! Papi keterlaluan ya! Buat ngeluangin waktu demi keluarga Papi sendiri aja susah banget. Apa Papi lupa kalau mereka yang selama ini ngerawat Papi? Apa Papi ngga menghargai pengorbanan keluarga Papi selama ini? Kalau ngga ada mereka, apa Papi sekarang aka nada di hadapan Mami? Coba Papi pikirin baik-baik semua kelakuan Papi selama ini, dan bayangin gimana kalau anak-anak kita yang memperlakukan Papi seperti itu!”
“Selama pernikahan kita, ngga pernah sekalipun Papi mempertemukan Mami dengan keluarga Papi. Bahkan di hari pernikahan kita Papi melarang mereka untuk datang. Mami nggak habis pikir, setan apa yang sudah ngerasukin pikiran Papi.” lanjut istrinya.
Ahmad terdiam mendengar perkataan isterinya. Untuk pertama kalinya isterinya berteriak kepadanya. Baginya itu adalah pukulan yang sangat telak. Tapi egonya menahannya untuk mengakui kesalahannya, dia tetap bertahan dalam diam sampai istrinya meninggalkan meja makan.

*****

“Akhirnya Ahmad memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Sepanjang perjalanan pikirannya terus tertuju pada urusan kantornya. Hatinya sama sekali tidak tergerak untuk memikirkan keluarganya. Meski istrinya telah menceritakan berkali-kali mengenai kondisi ibunya yang disampaikan oleh adiknya, Ahmad tetap tidak bergeming dan memilih untuk tidak mempercayainya.”
Laki-laki itu mulai terisak. Perlahan tetes-tetes air mata turun di pipinya yang kini mulai terlihat tirus. Suaranya bergetar saat dia tengah berusaha melanjutkan ceritanya kepadaku. Hatiku bagai teriris belati saat melihat keadaannya itu. Ingin rasanya kupeluk tubuhnya dan menenangkannya, tapi aku tau hal itu tidak mungkin kulakukan.

*****

Mobil sedan yang ditumpangi Ahmad dan keluarganya sampai di depan sebuah rumah yang masih sangat familier di mata Ahmad. Rumah itu masih sama seperti dulu, tidak ada yang berubah sama sekali. Masih terlihat ayunan dari ban bekas yang dulu dibuatkan ayahnya untuknya. Bahkan rumah pohon sederhana di atasnyapun masih ada.
Perlahan Ahmad menutup matanya. Ingatannya kembali ke masa lalu. Saat terakhir kali dia kembali ke rumah itu bertahun-tahun yang lalu. Tanpa disadarinya hatinya yang selama ini dibuatnya membeku mulai mencair. Meski Ahmad berusaha mengingkarinya, sesungguhnya hatinya selalu merindukan keluarga dan rumah masa kecilnya. Hanya saja egonya terlalu besar untuk mengakuinya.
“Turun yuk pi.” bujuk istrinya pelan.
Dia hanya mengangguk pelan sambil melangkah turun dari mobilnya. Perlahan matanya mulai berkaca-kaca. Tapi dilihatnya suasana rumahnya terasab berbeda, banyak tetangganya yang datang dengan memakai baju berwarna hitam. Tiba-tiba tatapannya tertuju pada bendera kuning yang terpasang di pagar rumahnya. Luput dari perhatiannya karena dia terlalu sibuk dengan kenangan masa lalunya.
“Pi, siapa yang meninggal Pi?” Tanya istrinya khawatir di sisinya.
Digelengkannya kepalanya dengan gugup. Jantungnya mulai berdegup dengan kencang, seolah meyakinkan pikiran buruk yang melintas di kepalanya. Ragu dilangkahkannya kakinya memasuki pekarangan rumahnya. Orang-orang yang melihatnya datang sebagian langsung menoleh, ada yang melemparkan senyum menghibur, namun banyak yang menatapnya dengan benci.
Istrinya membimbing langkahnya yang mulai gemetar seiring jalan yang ditapakinya menuju rumahnya. Di ruang keluarga, dilihatnya adiknya tengah membaca surah Yasin. Lalu di hadapannya adiknya terbujur tubuh seorang wanita yang menjadi alas an istrinya memaksanya untuk kembali pulang. Detik itu juga, dunia sempurna yang dibangunnya hancur berkeping-keping.

*****

Air mataku menetes turun seiring dengan kisah yang dituturkan laki-laki di hadapanku. Kurasakan emosi yang sama mengalir dari kata-kata yang meluncur keluar dari mulutnya.
“Ibunya meninggal, sebelum dia sempat meminta maaf atas semua kesalahannya. Sebelum dia sempat mengenalkan keluarganya kepada ibunya. Sebelum dia sempat mengatakan betapa dia merindukan beliau. Dunianya runtuh saat itu juga.”
Aku hanya mampu menangis mendengarnya. Ku tatap wajah lelaki itu, perlahan senyum ganjil tersungging di bibirnya.
“Hahah… Itu adalah balasan yang setimpal untuknya. Untuk semua kesalahan yang dia perbuat selama ini. Bahkan adiknya tidak mengizinkannya untuk ikut mengubur ibunya. Hahah… Anak durhaka seperti dia memang tidak pantas berada di sana. Hahah… Harusnya dia yang mati, bukan ibunya.” lanjutnya sambil terkekeh-kekeh.
Lelaki itu mulai memukul-mukul kepalanya dengan kedua tangannya. Tangisnya semakin keras terdengar. Begitu menyayat hati, seolah menggambarkan duka yang tengah dirasakannya. Terselip tawa di sela-sela tangisnya. Tawa yang aneh, karena tidak diiringi kebahagiaan sebagaimana mestinya.
Ketakutan mulai menguasaiku. Terlebih setelah dia mulai berteriak-teriak dengan keras. Gemetar aku mulai bangkit berdiri, menuju pintu di sisiku. Perlahan aku keluar dari ruangan itu, menahan segenap kesedihanku yang selama ini selalu kutahan.
“Cepet sembuh Pi. Udah 2 tahun Papi ninggalin Mami sendiri kayak gini.” bisikku lemah.
Kututup pintu kamarnya. Menyusuri lorong rumah sakit jiwa tempat suamiku tengah di rawat. Berat rasanya melihat keadaannya saat ini. Tapi tidak ada yang bisa kulakukan selain berdoa untuk kesembuhannya.


~Fin~

Tidak ada komentar: