Aku menatap dari balik tirai-tirai
jendela kamarku. Menatap sesosok lelaki yang tengah asyik bercengkrama dengan
seorang wanita muda berambut merah. Lelaki itu tertawa, merangkul mesra wanita
di hadapannya. Mataku terpaku, mendamba akan sentuhan yang sama seperti yang
wanita itu dapatkan. Memuja tanpa kata sosok maskulin yang terus mengisi
mimpi-mimpiku. Mimpi-mimpi terliar dari tidur panjang berbalut berjuta benang
kesepian. Aku ingin lelaki itu menyentuhku lagi, seperti yang pernah
dilakukannya padaku.
Aku menginginkan lelaki itu. Hanya
untukku seorang. Milikku. Bukan milik wanita muda bernama Jordan yang kini
tengah mengecup lelaki itu dengan mesranya. Melepas kepergian lelaki itu dengan
senyuman palsu.
Rasanya aku ingin mencakar wajah
wanita itu. Aku membencinya. Wanita itu tidak pantas untuk lelakiku. Akulah
yang pantas mendampinginya. Satu-satunya orang yang mencintai lelaki itu dengan
tulus. Tanpa isyarat. Tanpa kepura-puraan.
Pintu depan terbuka, Jordan melenggang
masuk sambil bersiul seolah dunia miliknya. Aku membencinya. Ya, aku membenci
wanita itu. Wanita yang merenggut segala yang ku miliki dan ku cintai. Wanita
yang membuatku merasa seolah tak berarti di dunia ini.
Wanita itu berhenti, menatapku
sambil bersandar pada pintu kamar.
“Hy, aku kira kamu masih tidur.”
sapanya sambil tersenyum lebar.
Aku hanya menatap wanita itu tanpa
berniat menjawab pertanyaannya. Aku tidak akan tertipu oleh senyumannya yang
kini dia tampakkan. Itu hanya terlihat di permukaan. Seperti bungkus kado yang
menutupi kebusukan yang ada di dalamnya. Tapi aku tau seperti apa sosok asli
wanita ini. Ya, aku mengetahuinya dengan pasti. Tanpa bersusah payah menyapanya
aku berjalan melewati Jordan yang tampak kesal dengan sikapku.
“Yeah fine...” gerutu Jordan pelan
sambil berbalik mengikutiku.
“Kamu mau ke mana?”
Rupanya wanita itu tidak mengerti
bahwa aku membencinya. Dia tetap mengikutiku dan berusaha menarik perhatianku.
Tapi apapun yang di lakukan wanita itu, aku akan tetap membencinya. Membencinya
untuk semua yang ku alami saat ini.
****
Langit masih berselimut kabut.
Makhluk-makhluk kegelapan masih berkeliaran diluar sana. Mencari mangsa di
balik bayang-bayang gelap perumahan. Mengendap untuk menyergap di saat yang
tepat. Saat-saat ketika semua orang lengah.
Aku kembali menatap dari balik
jendela kamarku. Menyaksikan semua makhluk kegelapan beraktifitas di luar sana.
Berbagai jenis manusia yang melepas topeng kemunafikannya di tengah gelapnya
malam. Sama seperti wanita itu. Wanita jalang bernama Jordan yang sangat
dibencinya tengah berkendara bersama malam yang kian merambat. Entah apa yang
tengah dilakukannya di luar sana. Bersama lelaki lain yang berbeda.
****
Hari ini lelaki itu kembali lagi.
Tapi dia hanya memberiku sentuhan lembut di puncak kepala seperti yang biasa
dilakukannya padaku. Padahal lelaki itu memberi kecupan penuh sayang pada Jordan.
Padahal dia akan melakukan hal yang sama padaku bila Jordan tidak ada.
Aku kecewa. Lelaki itu begitu bodoh.
Mengapa dia tetap bersama Jordan. Padahal aku tau dia menginginkanku. Aku tau
dia juga mencintaiku. Lelaki itu tidak mungkin melupakan apa yang telah dia
lakukan. Saat ini, dia hanya terjebak pada pesona palsu Jordan. Wanita licik
yang sangat lihai menyembunyikan semua kebusukannya. Wanita yang telah
mengkhianati dirinya. Aku harus membuatnya sadar. Sebelum semuanya terlambat.
“Kami pergi dulu ya. Jaga rumah
baik-baik.” ucap Jordan padaku.
Lalu mereka berlalu dari
hadapanku. Meninggalkanku lagi. Sendiri. Membiarkanku terus berteman dengan
kesunyian di rumah ini. Bersama suara-suara tak berwujud yang terus membisikiku
untuk mengakhiri semua sandiwara wanita itu.
****
Malam kembali merayap naik dengan
perlahan. Aku masih sendirian. Menunggu mereka di depan jendela seperti biasa.
Tapi mereka tak kunjung kembali. Seakan melupakan bahwa mereka meninggalkanku
sendirian di rumah ini.
Aku mendongak menatap langit. Rembulan
masih belum sempurna menggantung di kegelapan malam. Aku menatap dengan tidak
sabar. Seolah rembulan akan semakin cepat menyempurnakan sosok anggunnya bila
aku terus menatapnya setiap malam.
Aku menggerutu dengan tidak sabar.
“Masih lamakah?” tanyaku pelan, entah kepada siapa. “Sebentar lagi.” bisik sebuah
suara di kepalaku. “Sebentar lagi semua akan berakhir.” lanjut suara itu. Aku
tersenyum penuh kemenangan. Seolah seseorang te;ah memberiku hadiah terbaik
sepanjang hidupku.
“Aku akan menunggu sedikit lebih
lama.” gumamku, masih kepada kegelapan.
****
Dua malam telah beralu. Kini, di
langit malam rembulan telah bertakhta dengan megahnya. Menyinari kegelapan yang
selama ini membutakan. Menarik banyak orang dengan pesona misteriusnya.
Aku tersenyum senang. Aku selalu
menyukai purnama. Apalagi purnama selalu membawa hal baik untukku. Termasuk
untuk malam ini. Aku menunduk, menatap kilau tajam pisau yang ada di tanganku.
Benda yang diam-diam kusembunyikan dibalik pakaianku. Benda yang akan kugunakan
untuk mengakhiri segalanya. Untuk mengubah dunia.
Perlahan, aku mencungkil pintu
kamarku. Ya, kamarku selalu terkunci di malam hari. Entah kenapa. Mungkin karna
Jordan takut padaku. Mungkin dia menyadari bahwa dia tidak akan mampu
melawanku.
Aku mengendap-endap menuruni
tangga. Berusaha tidak menimbulkan suara. Meski aku tau Jordan tidak akan
terbangun karna apapun malam ini. Tidak. Dia terlalu lelah untuk mendengar
suara yang mungkin akan kutimbulkan. Tapi, bukankah berhati-hati adalah langkah
yang terbaik?
Sesampainya di depan pintu kamar
Jordan, aku masuk dengan perlahan. Masih berusaha tidak menimbulkan suara
apapun. Di atas ranjang aku melihat dua sosok tubuh terbaring saling melekat.
Aku menatap dengan jijik pada mereka. Lelakiku tengah memeluk Jordan tanpa
benang sehelaipun melekat di badan keduanya.
Aku murka. Aku tidak percaya dia
masih melakukannya dengan Jordan. Aku menggeram marah. Cukup keras untuk
membangunkan lelaki itu. Tapi masih terlalu lemah untuk menarik Jordan dari
dunianya.
Sebelum lelaki itu sempat mencerna
apa yang terjadi, aku mendekatinya. Pisau milikku masih tergenggam erat di
balik punggung.
“Kamu ngapain di sini?” tanya
lelaki itu bingung.
Aku tersenyum. “Membebaskanmu dari
wanita jalang ini.”
Dengan cepat pisauku terayun,
menghujam urat nadi lelaki itu tepat di bawah telinganya. Lelaki itu menjerit
keras, yang bagiku seperti ucapan terima kasihnya padaku. Darah lelaki itu menyembur
keluar dari tubuhnya. Membanjiriku dengan genangan merah kental.
Jordan terbangun. Menatap terkejut
padaku dan pisau di tanganku. Lalu matanya beralih pada lelaki itu. Selama
sepersekian detik, Jordan tidak mampu bersuara sedikitpun. Lalu dia mulai
menjerit dengan kerasnya. Jeritan panjang yang ku sambut dengan tawa penuh
kemenangan.
****
“Apa ngga bisa sembuh Dok?” Jordan bertanya
sambil menatap pada gadis kecil yang tengah bersandar pada jendela kamarnya.
“Kemungkinannya sangat kecil Bu.
Apalagi, sudah cukup lama dia dibiarkan tanpa pengobatan.” jawab Dr.Frank.
Jordan hanya dapat menghela nafas
panjang. Dia masih menatap gadis itu, anaknya. Anaknya yang baru berumur 10
tahun. Entah apa yang telah merasukinya sehingga dia tidak pernah memerhatikan
putri semata wayangnya itu. Baginya anaknya hanya anak cacat belaka yang
otaknya tidak berkembang sebagaimana mestinya. Dia tidak menduga hal itu
bukanlah penyakit genetik. Dia tidak pernah berpikir anaknya mengalami gangguan
mental. Sampai insiden itu terjadi. Sampai suaminya meninggal di tangan anaknya
sendiri.
****
Aku kembali menatap rembulan dari
balik jendela. Tapi dari tempat yang berbeda. Setelah kejadian itu Jordan
mengeluarkanku dari rumahnya. Dia memanggil prajurit-prajuritnya untuk
membawaku paksa ke tempat ini.
Awalnya aku membenci tempat ini.
Tapi seiring waktu berlalu, aku mulai menyukainya. Terutama karna teman-temanku
tidak meninggalkanku. Mereka ikut bersamaku ke tempat ini. Dan yang terpenting,
aku masih bisa menatap rembulan dari sini.
Di luar, aku melihat Jordan tengah
bercakap-cakap dengan lelaki lain. Entah lelaki ke berapa dalam hidupnya. Aku
tidak peduli. Asalkan bukan lelakiku yang berada di sisnya.
Aku mendongak, menatap rembulan
sambil tersenyum bahagia. Rembulan kelabu menggantung di langit malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar